Belajarmembuat resensi novel karya Ahmad Tohari untuk Grade 10 Sampoerna Academy TA 2015/2016. namun yang terjadi mereka mendiskusikan arus listrik serta mengunjungi Darsa yang pohon kelapanya ditebang. Keunggulan buku ini adalah topik-topik dan masalah yang diangkat oleh sang-penulis. , kecuali Kanjat yang setia dengan Lasi. Kanjat
Resensi buku Senin, 24 Agustus 2015 0800 WIBOleh Muhammad Roqib Oleh Muhammad Roqib Seorang teman yang baik hati, Andhika Rakhmanda, mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengirimi saya dua buku menarik yang berkisah tentang potensi kelautan kita yang luar biasa. Buku pertama novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Buku kedua kumpulan pemikiran perikanan dan kelautan berjudul Menjala Kesejahteraan karya Andhika Rakhmanda dan kawan-kawan. Kalau buku pertama cerita fiksi tetapi berlatar belakang sejarah kejayaan maritim nusantara. Nah, buku kedua nonfiksi yang berisi gagasan dan pemikiran mahasiswa Perikanan UGM mengenai betapa kayanya sumber kelautan dan perikanan Nusantara. Benar adanya orang bilang nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Negeri kita adalah negeri bahari dengan jajaran pulau-pulau yang memesona. Baiklah, saya akan mengutip tulisan di buku Menjala Kesejahteraan itu. Indonesia mempunyai pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Weh sampai Pulau Rote. Hanya pulau itu yang berpenghuni dan lebih pulau yang belum diberi nama. Garis pantai Indonesia terpanjang di dunia kedua setelah Kanada yakni kilometer. Maka tidak heran jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh pergerakan Tan Malaka pernah berucap,”Kalau suatu bangsa seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan,”. Kata-kata itu diungkapkan Tan Malaka di buku Madilog. Namun sebagaimana kita tahu potensi dan kekayaan laut Indonesia itu tidak terurus. Kehidupan nelayan di pesisir pantai miskin dan tertinggal. Sudah terlalu lama pula bangsa ini memunggungi laut, mengabaikan kekayaan bahari. Sekian tahun kekayaan perikanan kita dicuri oleh nelayan asing. Baru beberapa tahun terakhir ini pemerintah mau menengok laut, sadar kalau kekayaan lautnya dikuras oleh bangsa lain. Tidak heran pula kalau belakangan ini menteri perikanan suka meledakkan kapal-kapal nelayan asing yang tertangkap. Tujuannya ya supaya nelayan asing jera tidak mencuri ikan di perairan Indonesia. Nah, saya tidak akan bercerita panjang lebar soal kekayaan laut Indonesia itu karena saya bukan mahasiswa perikanan. Saya ingin bercerita tentang buku novel Arus Balik karangan Pramoedya Ananta Toer. Buku setebal 760 halaman itu berkisah tentang sejarah Nusantara setelah kejatuhan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1478 masehi abad keenambelas. Setelah Majapahit runtuh di nusantara muncul raja-raja kecil dengan kekuasan dan wilayahnya sendiri-sendiri di pesisir pantai. Mereka mempunyai bandar dan pelabuhan sebagai tempat berdagang rempah-rempah antar pulau. Bandar yang kuat di Jawa di antaranya bandar Tuban, bandar Jepara, bandar Lao Sam Lasem sekarang, bandar Gresik, bandar Demak, dan bandar Blambangan. Bandar di luar Pulau Jawa yang kuat di antaranya bandar Malaka, bandar Semenanjung, bandar Aceh, bandar Bugis, dan bandar Maluku. Setelah Majapahit runtuh tidak ada lagi kapal-kapal besar dari negeri selatan yang singgah ke negeri Atas Angin utara. Semasa Majapahit, nusantara merupakan kesatuan maritime dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara. Mulai kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya, dan cita-citanya. Tetapi zaman berubah, arus berbalik. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan nusantara. Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya. Tokoh dalam novel Arus Balik itu adalah Galeng dan Idayu. Galeng adalah juara gulat dari Desa Awis Krambil. Sedangkan, Idayu adalah penari tenar dari Desa Awis Krambil. Desa ini berada di wilayah Tuban. Saat itu Tuban berada di bawah kekuasan Adipati Arya Tumenggung Wilwatikta. Ia seorang penguasa bekas kerajaan Majapahit. Saat itu perdagangan rempah-rempah di bandar Tuban sangat ramai. Bandar Tuban merupakan bandar mandiri. Para pedagang dari negeri Atas Angin selalu singgah di bandar Tuban sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Malaka atau ke Maluku. Kekayaan Tuban cukup melimpah. Sang Adipati Tuban berpikir pragmatis. Ia tidak suka perang, ia lebih suka memilih berdagang. Namun, untuk pertahanan Tuban saat itu dikenal mempunyai pasukan gajah yang disegani. Raja di Jawa berpikir dua kali bila ingin menyerbu atau menguasai Tuban. Namun saat itu perdagangan juga membawa pengaruh ajaran baru yakni Islam. Di Jawa saat itu telah pula ada penganut Hindu, Budha, Shiwa dan lainnya. Adipati Tuban sendiri penganut ajaran lama tetapi ia menerima pengaruh ajaran baru tersebut. Pertemuan budaya di bandar Tuban berlangsung damai. Galeng dan Idayu, sepasang kekasih dari Desa Awis Krambil sebenarnya hanya ingin jadi petani biasa. Mempunyai ladang bercocok tanam dan mempunyai keturunan. Tetapi, karena dianggap melakukan kesalahan, Galeng dan Idayu dipaksa mengikuti perlombaan di Tuban. Galeng harus mengikuti lomba gulat dan Idayu mengikuti lomba tari. Perlombaan yang disambut riuh oleh warga Tuban itu digelar beberapa hari. Galeng tidak ada yang mampu menandingi, ia menjuarai gulat. Begitu pula Idayu tak ada yang menandingi kemolekan dan kelenturannya dalam menari. Idayu pun digelari sebagai kamaratih Tuban, yakni pujaan Tuban. Namun, sesuai tradisi saat itu, juara tari akan diselir oleh Adipati Tuban yang berkuasa. Usai lomba, Idayu menolak dijadikan selir Adipati Tuban. Di hadapan umum, ia mengatakan ingin menjadi istri dari Galeng, sang juara gulat. Mendengar itu, Adipati Tuban murka. Namun, warga mengelu-elukan Idayu dan Galeng. Akhirnya, Adipati Tuban memendam amarahnya dan merestui keduanya menikah. Mengetahui kemampuan gulat Galeng, Adipati Tuban menunjuk sang juara gulat itu sebagai penjaga keamanan di bandar Tuban. Ia pun lalu dijuluki Wira Galeng, tetapi karena sulit mengucapkan orang akhirnya menyebutnya Wiranggaleng. Wiranggaleng, pemuda desa Awis Krambil, pun memulai pengalaman barunya. Wiranggaleng mengabdi pada Syahbandar Tuban Rangga Iskak, keturunan Arab. Ia pandai berbahasa melayu dan Arab. Idayu dan Wiranggaleng tinggal di kesyahbandaran Tuban. Namun saat itu bandar-bandar di Jawa dan Nusantara khawatir dengan datangnya kapal-kapal Peranggi Portugis dan Ispanya Spanyol. Kerajaan Goa telah ditaklukan dan dikuasai Peranggi. Kapal Peranggi dipersenjatai meriam mampu meluluhlantakkan kapal dan bandar. Pasukan Peranggi yang terlatih juga dipersenjatai musket, senapan mesiu, yang membuat pribumi merinding mendengarnya saja. Tetapi, Adipati Tuban, tidak ingin berperang, ia lebih suka berdagang dan mengumpulkan kekayaan. Saat itu, kerajaan Islam di Jawa yakni kerajaan Demak terus berkembang besar. Rajanya yakni Raden Patah. Tahun 1513, kerajaan Demak memimpin penyerbuan ke Malaka yang dikuasai oleh Peranggi. Penyerbuan itu dipimpin oleh Adipati Unus, dikenal juga sebagai pangeran Sabrang Lor. Ia anak Raden Patah. Kerajaan Demak meminta bantuan kapal perang dan tentara Tuban. Tetapi, Adipati Tuban saat itu sebenarnya enggan ikut pertempuran. Karena tidak ingin berurusan perang dengan Demak, akhirnya Adipati Tuban mengirim beberapa kapal perang ke Malaka yang dipimpin Raden Kusnan, salah satu anaknya, dan Wiranggaleng. Pasukan gabungan Aceh, Demak, Jepara, Bugis, Banten menyerbu Malaka. Kapal-kapal pasukan gabungan itu dipersenjatai dengan cetbang, senjata seperti basoka dengan mesiu peninggalan kerajaan Majapahit. Cetbang itu dibikin oleh orang-orang dari Blambangan, pecahan Majapahit. Tentara pasukan gabungan itu membawa tombak, pedang, dan panah. Mereka menghadapi kapal-kapal Portugis yang kala itu dikenal sebagai lelananging jagad. Kapal Portugis dilengkapi meriam yang mempunyai daya ledak hebat dan mampu menjangkau jarak yang jauh. Semula pasukan gabungan Demak-Jepara yang dipimpin Unus mampu menguasai bandar Malaka. Bandar direbut dan para prajurit bersukacita merayakan kemenangan. Tetapi, tiba-tiba kapal-kapal Portugis menyerbu, menembaki dengan meriam yang membuat kapal-kapal pasukan gabungan pecah, porak-poranda, dan rusak. Kapal-kapal pasukan gabungan tenggelam di laut. Ribuan prajurit terbunuh. Adipati Unus yang memimpin pasukan luka parah terkena pecahan meriam. Kalah, akhirnya Adipati Unus memerintahkan kapal dan pasukannya yang tersisa mundur dan kembali ke Jawa. Wiranggaleng ikut dalam perang besar melawan kapal-kapal Portugis itu. Ia juga ikut mundur dan sempat ke Demak sebelum akhirnya pulang ke Tuban dengan hanya beberapa prajurit. Adipati Unus memang kalah, tetapi orang-orang saat itu menyebutnya pahlawan dan pemberani karena sudah berani melawan Portugis, sang lelananging jagad. Setelah peperangan itu, kondisi Adipati Unus semakin lemah. Ia akhirnya mangkat dan penguasa Demak digantikan oleh Trenggono, adiknya. Namun, Sultan Trenggono tidaklah seperti Unus. Trenggono lebih suka ingin menaklukan dan menguasai bandar-bandar di Jawa ketimbang mengusir Portugis. Pasukan kuda kerajaan Demak saat itu cukup disegani. Adipati Tuban masih suka bersenang-senang di harem. Untuk urusan kesyahbandaran ia serahkan sepenuhnya pada Rangga Iskak. Namun, ia kemudian menginginkan seorang syahbandar yang mampu menguasai bahasa Portugis. Tujuannya, ia ingin berhubungan dagang dengan Portugis, bukan berperang. Adipati Tuban lalu memilih syahbandar baru bernama Sayid Habibullah Almasawa, seorang keturunan Moro. Disebut juga Ulasawa. Kemudian, Rangga Iskak dipecat tanpa alasan jelas. Merasa disingkirkan, Rangga Iskak lalu memilih menghimpun kekuatan di pedalaman Tuban. Ia kemudian memberontak pada Adipati Tuban. Namun, pemberontakan itu dapat dilumpuhkan oleh Wiranggaleng bersama pasukan gajahnya. Kerajaan Demak terus berkembang dan menguasai bandar-bandar lain di Jawa. Bandar Sunda Kelapa berhasil ditaklukan dan dikuasai Demak. Penyerbuan ke bandar Sunda Kelapa itu dipimpin oleh Fathillah. Selanjutnya Banten dan Pajajaran juga berhasil dikuasai Demak. Portugis terusir dari bandar Sunda Kelapa itu. Setiap kali Portugis kalah di satu bandar, mereka tidak akan datang lagi ke tempat itu. Terusir dari Sunda Kelapa, kapal-kapal Portugis membutuhkan bandar baru untuk berlabuh. Mereka akhirnya menyerang bandar Tuban yang kondisinya sudah lemah. Penyerbuan dan penaklukan bandar Tuban oleh pasukan Portugis berhasil dengan mudah. Adipati Tuban yang sudah tua dan tanpa daya itu sudah meninggal saat terjadi penyerbuan oleh Portugis. Kepala pasukan Tuban, Kala Cuwil, Banteng Wareng melarikan diri ke pedalaman dan menghimpun kekuatan. Saat itu Wiranggaleng memimpin ekspedisi ke Semenanjung. Namun, ekspedisi Wiranggaleng itu gagal. Para prajuritnya berubah menjadi petani menggarap ladang dan memilih tinggal di Semenanjung. Wiranggaleng dengan sisa pasukan memilih kembali ke Tuban. Namun, Tuban sudah dikuasai oleh Peranggi. Wiranggaleng, Kala Cuwil, Banteng Wareng menyusun strategi penyerbuan ke Tuban yang dikuasai Peranggi. Wiranggaleng memilih penyerangan serentak malam hari. Untuk penyerangan itu, ia memerintahkan pasukannya mengambil minyak mentah dari pegunungan Kendeng di daerah Bojonegoro sekarang sumur tua Kedewan. Minyak-minyak itu ditaruh di gendi-gendi lalu dibawa oleh pasukan menyerbu ke benteng yang dibangun Portugis di Tuban. Pertempuran dahsyat yang berlangsung malam hari itu berhasil mengusir Portugis dari Tuban. Pasukan Portugis yang selamat berlayar ke timur ke Blambangan, Maluku dan lainnya. Setelah pertempuran itu, Wiranggaleng memilih berhenti dari tentara. Kekuasaan Tuban ia serahkan pada Kala Cuwil dan Banteng Wareng. Ia memilih kembali ke Desa Awis Krambil. Hidup menjadi petani ditemani istrinya, Idayu, dan anaknya, Kumbang. Anak sulungnya, Gelar, ikut bergabung dengan pasukan Tuban.
Setiaptahun sajak-sajaknya muncul bagaikan luncuran waktu yang tak terbendung. Pada awal 1950-an, mungkin hanya Sitor penyair Indonesia yang paling banyak menerbitkan puisi. Pada era ini, Sitor menyebut proses kreatifnya sebagai arus waktu yang bergemuruh dan bergaung, yang bagaikan "tanggul jebol yang tak mampu dibendung". Kover Arus Balik, Goodreads Oleh Sabjan Badio, blogger Indonesia Judul Arus Balik Penulis Pramoedya Ananta Toer Penerbit Hasta Mitra, 2002 IDAYU dan Galeng adalah pemuda desa yang berasal dari keturunan rakyat biasa. Di desanya, mereka sering mendengarkan ceramah Rama Cluring seorang guru pembicara yang kerjanya berpetualang dan berbicara di setiap tempat yang disinggahinya. Isi ceramah Rama Cluring yang selalu hidup di pikiran mereka adalah tentang melawan kemerosotan dan tentang persatuan Nusantara. Inilah yang kemudian jadi dasar bagi Galeng dalam menjalankan tugas negara. Materi tentang kemerosotan yang sering disinggung Rama Cluring adalah kemerosotan kaum ningrat dan kemerosotan rakyat. Saat membicarakan kedua hal tersebut, tidak jarang sampai mengkritik adipati, hal yang setengah mustahil dilakukan waktu itu. Karena kritikannya itu, Rama Cluring diracun oleh kepala desa. Sebelum meninggal, Galeng dan Idayu-lah yang mengurusnya. Ketika kembali diadakan berbagai kejuaraan di Tuban, kepala desa berniat mengirimkan Galeng dan Idayu yang sudah mendapatkan juara dua kali berturut-turut. Semula mereka menolak, karena ancaman kepala desa atas perbuatan mereka yang menolong Rama Cluring, akhirnya mereka bersedia ikut. Mereka menjadi juara untuk ketigakalinya, Idayu menjadi juara tari dan Galeng menjadi juara gulat. Sebagai juara tiga kali berturut-turut, Idayu terkena aturan khusus, yaitu harus menjadi selir adipati. Mengetahui hal itu, Idayu dan Galeng sangat sedih. Sebagai juara, Idayu diperbolehkan mengajukan permintaan kepada adipati. Permintaan yang diajukannya adalah agar dirinya dinikahkan dengan Galeng. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta marah, tangannya memegang keris. Namun, dihentikannya karena kesadaran bahwa seluruh rakyat Tuban mencintai Idayu. Patih Tuban menunjukkan dukungannya atas Idayu dan Galeng, begitu juga hadirin yang lain. Adipati Tuban akhirnya meluluskan permintaan Idayu, tidak hanya itu, Galeng dan Idayu dinikahkan di kadipaten, menjadi pengantin kerajaan. Tidak lama berselang, Galeng diangkat menjadi Syahbandar Muda Tuban. Salah satu tugasnya adalah mengawasi Syahbandar Tuban yang dicurigai punya hubungan dengan Portugis. Tidak hanya itu, kemudian Galeng diangkat menjadi Kepala Angkatan Laut Tuban. Sebagai kepala angkatan laut, tugas pertama yang diembannya adalah bergabung dengan Adipati Unus, melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka 1512-1513 M. Walaupun ikut berangkat, Galeng tidak ikut bertempur karena Adipati Tuban sengaja memperlambat keberangkatannya, agar namanya tidak hancur di mata Jepara dan kerajaan lain dan juga tetap baik di mata Portugis. Galeng hanya menemukan armada Adipati Unus pulang dalam keadaan hancur. Bahkan, Adipati Unus sendiri menderita luka di sekujur tubuhnya. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar bahwa mantan Syahbandar Tuban yang tidak rela dengan penggantiannya, menggalang kekuatan di Desa Rajeg. Tidak hanya itu, aktivitasnya sudah menunjukkan akan melakukan penyerangan terhadap Tuban. Atas berita ini, Patih Tuban berusaha menggerakkan tentara yang cukup besar. Namun, Adipati Tuban tidak pernah berkenaan, dia hanya mengizinkan untuk memberangkatkan lima ratus orang tentara. Karena tindakan adipati ini, ditambah penghinaan yang sering diterimanya, Patih Tuban menjadi patah semangat. Melihat tidak ada niat pada Patih-Senapati Tuban untuk memberantas pemberontak, Galeng terpaksa membunuhnya dan mengambil alih semua tentara. Kadipaten dikosongkannya, adipati dijauhkan dari kekuasaan agar tidak mengganggu rencananya. Dalam waktu tidak terlalu lama, tentara Rajeg berasil dihancurkan. Setelah mendapatkan kemenangan yang gemilang, Galeng kembali menyerahkan kekuasaan pada adipati. Namun, Adipati Tuban tidak menerima tindakan Galeng yang dianggapnya lancang. Hanya karena dukungan dari para pemimpin pasukan lain—ditambah pengetahuan adipati bahwa semua rakyatnya mencintai Galeng dan Idayu—dia bisa terbebas dari hukuman mati. Akhirnya tindakan terkeras yang dapat dilakukan adipati hanyalah mengusir Galeng dari Tuban. Sementara itu, Sultan Demak meninggal dan digantikan putra mahkotanya yang bernama Unus 1518 M. Keadaan Unus yang cidera membuat dia hanya bertahtah selama tiga tahun. Walaupun begitu, dirinya sudah berusaha membangun angkatan laut yang besar, semua pendanaan dikerahkan ke Bandar Jepara, tempat pembuatan kapal-kapal perang yang besar. Sepeninggal Adipati Unus 1521 M, Trenggono naik tahta dengan cara membunuh Pangeran Seda Lepen yang berpotensi untuk menggantikan Unus. Atas desakan ibunya, Trenggono yang lebih mengutamakan pasukan kuda itu akhirnya bersedia menyerang Malaka. Fatahillah diangkat sebagai pimpinan pasukan lautnya. Sementara itu, pasukan kuda tetap berada di tangannya. Untuk melakukan penyerangan tersebut, Ratu Aisah sudah menjalin kerja sama dengan beberapa kerajaan. Seperti pada penyerangan pertama 1512-1513, Tuban ikut serta. Oleh karena itu, Galeng dipanggil kembali ke Tuban untuk bergabung dengan Demak menyerang Malaka. Adipati mengutus Patih Tuban yang baru Kala Cuwil Sang Wirabumi untuk menjemputnya. Pada penyerbuan kali ini Demak yang dipimpin Fatahillah berkhianat dengan melakukan penyerangan terhadap Jawa dari arah Barat. Sementara itu, pasukan kuda yang dipimpin oleh Trenggono melakukan penyerangan terhadap Jawa bagian timur. Seperti kerjaan-kerjaan lain, Tuban pun tidak lepas dari serangan Demak, hanya dengan usaha keras dan sikap pantang menyerah sajalah mereka berhasil mengusir kembali pasukan Demak. Galeng merasa usahanya tidak akan berhasil berkenaan sedikitnya jumlah pasukan dan persenjataan. Oleh karena itu, dia tidak marah kepada anak buahnya yang berubah menjadi petani bersenjata dan menikah dengan penduduk setempat. Setelah mengetahui bahwa Portugis melakukan penyerangan dan menguasai Tuban, Galeng beserta beberapa orang prajurit pulang ke Tuban. Dalam pimpinannya pasukan Tuban berhasil mengusir Portugis. Galeng adalah rakyat biasa dengan pengabdiannya yang luar biasa. Setelah mengabdi untuk adipati, bangsa, dan negaranya, dia kembali menjadi petani di pedalaman Tuban. * Thanks for reading Sinopsis novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer Tags SASTRA
Judul Arus Balik. Penulis: Pramoedya Ananta Toer. Penerbit: Hasta Mitra, 2002. IDAYU dan Galeng adalah pemuda desa yang berasal dari keturunan rakyat biasa. Di desanya, mereka sering mendengarkan ceramah Rama Cluring (seorang guru pembicara yang kerjanya berpetualang dan berbicara di setiap tempat yang disinggahinya).
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Mereka berdua mendirikan perusahaan batik tulis cap Canting. Batik tulis cap Canting ternyata sangat disukai oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Bu Bei yang menjabat sebagai pemimpin perusahaan menjadi sibuk. Memerintah para buruh, menjaga kios di Pasar Klewer, dan menghitung penghasilan merupakan pekerjaan sehari-harinya. Namun di tengah kesibukan itu, ia masih bisa berperan menjadi istri yang baik bagi Pak Bei. Menyediakan makanan, membuatkan jamu, dan memijat Pak Bei merupakan hal-hal yang Bu Bei lakukan sebagai bentuk bakti terhadap dan Ibu Bei ternyata dianugerahi enam anak oleh Gusti Allah. Anak yang sulung bernama Wahyu Dewabrata, yang kedua Lintang Dewanti, yang ketiga Bayu Dewasunu, yang keempat Ismaya Dewakusuma, yang kelima Wening Dewamurti, dan si bungsu Subandini Dewaputri. Ketika Ni lahir, ia sempat dicurigai berasal dari hubungan gelap karena keadaan fisiknya yang berbeda dari kakak-kakaknya, "Hitam seperti jangkrik." Berkat pola asuh yang baik dari Pak Bei maupun Bu Bei, keenam anaknya meraih kesuksesan dalam hidup. Wahyu menjadi dokter, Lintang menjadi istri kolonel, Bayu menjadi dokter gigi, Ismaya menjadi insinyur, Wening menjadi kontraktor, dan Ni menjadi sarjana farmasi. Setelah menjalani kehidupan masing-masing, anak-anak Sestrokusuma berkumpul kembali di hari upacara wolung windu Pak Bei, atau ulang tahun ke-64. Bu Bei yang sudah semakin tua membuatnya tidak segesit dahulu lagi sehingga perusahaan batik cap Canting akan ditutup. Ni mengutarakan niatnya bahwa ia akan meneruskan usaha batik keluarga. Ia merasa tidak tega jika harus membubarkan ke-112 buruh yang telah mengabdi sejak lama. Ia merasa bahwa semua yang telah dicapai kakak-kakaknya merupakan hasil kerja para buruh ini. Secara tak disangka, hal ini menyakiti ibunya karena seakan-akan semakin menguatkan bahwa Ni berdarah buruh batik dan bukan berdarah ngabehi atau bangsawan. Ni akhirnya diperbolehkan untuk meneruskan pembatikan oleh Pak Bei. Dengan gigih, Ni mencoba mempertahankan usaha batik tulisnya di tengah kemunculan pabrik-pabrik batik cetak yang lebih besar. Kalau batik tulis memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menghasilkan kain batik yang halus, pabrik-pabrik ini bisa menghasilkan ratusan meter dalam sekejap. Dalam usahanya ini, Ni menjadi sakit keras, bahkan hampir meninggal. Setelah didoakan Pak Bei, Ni menjadi sembuh kembali dan sadar akan apa yang harus ia perbuat dengan perusahaannya. Mulai sekarang, ia tidak akan mencap batiknya dengan logo canting. Perusahaannya akan mengerjakan apa yang diminta oleh perusahaan-perusahaan besar itu. Sebab ia tahu bahwa tidak ada gunanya mempertahankan usahanya dan menyaingi perusahaan-perusahaan ini. Melebur dengan perkembangan zaman merupakan jalan terbaik. Dalam buku ini, sang penulis menyisipkan banyak unsur sosial dan budaya Jawa, khususnya Solo. Penggambaran budaya yang sangat bisa dirasakan para pembaca mungkin dikarenakan Arswendo merupakan kelahiran Solo. Unsur sosial dalam buku ini sangat jelas tampak pada stratifikasi sosial antara pengusaha batik, yakni keluarga Sestrokusuma, dan para buruh batik. Diceritakan bahwa para buruh batik tinggal di deretan kamar di belakang bangunan utama yang disebut kebon. Kamar-kamar ini bahkan tidak mempunyai pintu, hanya tirai dari kain termurah. Sementara keluarga ngabehi tinggal di Ndalem Ngabean Sestrokusuma, yang dikelilingi dinding tebal, yang mempunyai halaman luas, yang bangunan utamanya sangat besar. Meskipun begitu, banyak yang nilai-nilai kehidupan yang bisa kita dapatkan dari para buruh ini. Mereka hidup dengan sangat sederhana, mengabdi kepada keluarga priyayi ini dengan sikap pasrah dan serba bersyukur. Mereka rela melakukan apa saja karena mereka tahu bahwa bekerja seperti ini masih lebih mulia daripada menganggur. "Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang tetap terhormat, dengan menenggelamkan diri."Melalui novel ini, Arswendo ingin memperkenalkan budaya Jawa kepada pembacanya, terutama batik tulis khas Solo. Diceritakan bahwa proses pembuatan batik tulis bisa memakan waktu berbulan-bulan. Dimulai dari menyiapkan kain, menggambar pola, menegaskan pola dengan canting, proses pewarnaan, dan seterusnya. Selain itu, terdapat pula upacara-upacara menurut tradisi Jawa seperti peringatan kematian seseorang pada hari ke-7 dan ke-40. Seterusnya, ada upacara pendhak pisan, yaitu upacara selamatan setelah satu tahun meninggalnya seseorang, dan pendhak pindho yang dilaksanakan pada tahun berikutnya. Ada juga upacara tedak sinten, upacara ketika seorang bayi menapakkan kakinya di atas tanah untuk pertama kalinya. Bayi itu juga akan diramal bagaimana hidupnya kelak. Hal yang menarik dari novel ini adalah terdapat beberapa peristiwa sejarah yang diselipkan dalam novel ini. Suatu ketika, Pak Bei memperingatkan Gusti Harjan bahwa banjir besar akan melanda Solo. Gusti Harjan menganggap bahwa Pak Bei bersikap sok pintar dan meremehkan kemampuan keraton untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya banjir. Lagipula, keraton tidak pernah kebanjiran karena adanya tanggul yang tebal. Nyatanya, pada tahun 1966 Sungai Bengawan Solo benar-benar meluap dan banjir pun melanda Kota Solo, Kabupaten Wonogiri, dan Kabupaten Sukoharjo. Hujan turun terus-menerus, lebih deras dari yang pernah dirasakan, dan dalam beberapa saat saja tanggul dan pintu air yang mengelilingi Kota Solo pun jebol. Pabrik batik Pak Bei menjadi berantakan, kain-kain batik menjadi rusak, dan kerugian pun tak yang lain adalah ketika pagi hari di Ndalem Ngabean disambut oleh teriakan pemuda-pemuda yang garang. "Setan kota! Kapitalis! Nekolim!" teriak mereka kepada Pak Bei. Mereka kemudian masuk ke dalam, memorak-morandakan area pabrik. Terdengar berita bahwa banyak orang yang kemudian ditangkap, ditembak. "... Sungai Bacem di sebelah selatan penuh dengan mayat." Berdasarkan keterangan sejarawan Heri Priyatmoko, pernah ditemukan lebih dari 20 mayat menumpuk di Sungai Bengawan Solo yang dangkal. Bagian cerita ini menggambarkan Jembatan Bacem yang dijadikan sebagai tempat pembantaian PKI pada tahun 1960. Novel ini sukses menangkap esensi dari kebudayaan Jawa serta berbagai filosofi hidupnya. Penggunaan banyak istilah Jawa dalam mendeskripsikan suatu kejadian, sebagai nama benda, dan dalam dialog antar tokoh membuat pembaca merasakan suasana budaya Jawa. Istilah-istilah ini seharusnya tidak akan membuat bingung para pembaca karena sang penulis akan langsung menyertakan penjelasan singkat atau digunakan dalam konteks yang jelas. Pesan dalam novel ini ditulis dengan baik, tentang bagaimana Ni mengikuti sifat Pak Bei yang aeng dan tidak Jawa. Sebagaimana Pak Bei memutuskan untuk menikahi seorang buruh batik, Ni berani beda dari kakak-kakaknya dengan meneruskan usaha pembatikan. Ke-aeng-an ini menantang segala tradisi yang sudah ditetapkan sejak lama dan memungkinkan kita untuk lebih banyak kekurangan yang bisa disebutkan dari karya sastra yang satu ini, terlepas dari adanya beberapa kesalahan penulisan kata. Entah karena kelalaian editor atau hal lainnya, namun kesalahan-kesalahan penulisan ini bisa memengaruhi pengalaman membaca. Kekurangan lainnya terdapat pada adegan-adegan monolog panjang yang sering dilakukan Pak Bei. Monolog ini bisa mencapai lebih dari satu paragraf dan dipisahkan oleh tanda kutip. Sehingga dua kutipan yang berbeda sebenarnya masih merupakan kata-kata Pak Bei. Hal ini bisa membuat beberapa pembaca bingung dan harus sekali atau dua kali mengulangi bagian ini akan cocok sebagai bahan bacaan untuk orang-orang yang tertarik dengan tema kebudayaan jawa ataupun keluarga. Novel ini juga cocok untuk remaja karena sarat akan filosofi nilai-nilai kehidupan seperti bagaimana kita diajak untuk kritis terhadap aturan-aturan sosial yang ada. Namun novel ini tidak akan cocok untuk anak-anak di bawah usia 13 tahun karena mereka mungkin belum paham akan cerita dan kata-katanya. Selain itu, bukunya pun cukup tebal. 1 2 3 Lihat Fiksiana Selengkapnya
Dalamagenda, Menhub beserta rombongan sedang melakukan pemantauan arus balik Lebaran 2019 dari Madiun Jawa Timur menuju Semarang, Jawa Tengah melalui jalur darat. Saat itu, bus yang membawa rombongan Menhub masuk ruas tol Bawen-Salatiga untuk menuju Semarang mengalami ketersendatan di Km 467, sekitar pukul 14.45 WIB.
Judul Buku Arus Balik Penulis Pramoedya Ananta Toer Penerbit Hasta Mitra, 2002 Dimensi 15×23 cm l Softcover Tebal 1192 hlm ISBN 979-8659-04-x Oleh Lapmi HMI Cabang Ciputat Berhasil dengan masterpiece pertamanya, Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Sebuah Bangsa dan Rumah Kaca, Pram kembali menghadirkan Tetralogi keduanya yang tidak kalah luar biasa. Yang pertama Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik dan Mangir. Meskipun karya kedua dalam Tetralogi ini, Mata Pusaran, sampai sekarang belum pernah ditemukan setelah beberapa saat ketika Pram balik dari Pulau Buru, teks cikal bakal Mata Pusaran ini lenyap dirampas orang yang katanya suruhan Jendral dan sampai sekarang tidak pernah dikembalikan. Arus Balik, mengisahkan tentang sebuah arus yang berbalik. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit 1478 M membuat arus Nusantara yang dahulunya merupakan mercusuar dari Selatan yang selalu mendominasi Utara, akhirnya harus menerima kenyataaan bahwa arus yang selama ini berjalan, telah berbalik. Hingga pada akhirnya Indonesia dan sekitarnya Nusantara saat itu harus menerima kenyataan sekian abad lamanya terjajah. Kemahiran Pram dalam mengisahkan suasana yang terjadi saat itu dengan gaya bahasa yang seakan-akan kita ikut terlibat didalamnya, membuat kita akan sangat mudah mengetahui kebudayaan, pola pikir dan ikut merasakan perjuangan masyarakat Nusantara saat itu yang dalam hal ini di fokuskan pada wilayah Tuban. Pada awalnya Nusantara sebagai wilayah selatan Asia mampu menjadi mercusuar peradaban dunia dengan kerajaan yang maha besarnya, Majapahit, yang kekuasaannya tersebar hingga Tumasik sekarang Singapura, Malaya Malaysia, dan beberapa negera ASEAN lainya, namun itu hanyalah dongengan belaka bagi masyarakat Nusantara waktu itu sekitar tahun 1251 M. Kerajaan Majapahit sudahlah hancur dalam perang saudara tak berkesudahan, wafatnya sang Mahapatih Sakti Mandraguna Gajah Mada menjadi titik awal, kemudian berturut-turut peristiwa menggrogoti kerajaan ini, dan akhirnya lenyap setelah kedatangan agama Islam. Setelah itu Arus pun berbalik, kerajaan-kerajaan yang dahulunya berada dalam kekuasaan Majapahit akhirnya melepaskan diri. Para keturunan bangsawan Majapahit pun lebih memilih konsentrasi pada wilayah kekusaaan yang tersisa, termasuk Raja Tuban, Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Tidak seperti nenek moyangnya yang selalu ambisius melebarkan sayap kekuasaan, Wilwatikta tidak berhasrat sama sekali untuk memperluas kekuasaanya, “Perdamaian jauh lebih berarti buat rakyat” ucapnya. Tapi, masa depan Tuban akan berubah drastis bukan saja bergeraknya arus dari eksternal kedatangan Portugis dan internal hadirnya Demak yang ambisius, namun yang lebih penting munculnya sosok Galeng pemuda desa yang hadir dalam hingar bingar arus tersebut dengan cemerlang nya wibawa dan mahir nya memikat hati masyarakat sekitarnya lewat kemahiran silatnya. Berawal dari kejuaraan gulat yang tiap tahun di gelar oleh Adipati, Galeng muncul sebagai juara yang tak pernah terkalahkan setiap tahunnya. Galeng karena kehebatannya, mendapat penghormatan yang luar biasa dari Adipati dinikahkan dengan Idayu, gadis ayu pujaan hatinya yang tidak lain adalah calon selir Adipati Tuban karena ayunya paras serta kemolekan dan kebeningan kulit yang menawan setiap penduduk Tuban kala itu. Namun dengan ikatan janji yang sudah diutarakan, Adipati akan menuruti segala kemauan Idayu apabila dalam kontes tari lalu Idayu tampil sebagai juara. Dan Adipati pun tidak bisa menolak permintaan Idayu yang dengan segera ingin menikah dengan juara gulat Tuban idamannya, Galeng. Galeng, yang dengan nasib baiknya memperistri Idayu, karena restu Adipati diamanatkan menjadi prajurit pengawal kerajaan dibawah pimpinan Patih Rama Cluring. Tak begitu lama, Galeng dengan kemahiran gulatnya, berkesempatan mengawal pasukan Tuban untuk bergabung bersama Demak dibawah pimpinan adpiati Unus menghadang Protugis dan Ispannya di Malaka meskipun pulang dengan kabar kurang membahagiakan. Awal karir Galeng pun dimulai. Dengan berbagai konflik, dinamika dan penghianatan dalam misi pertamanya ini, Ia banyak belajar tentang arti sebuah kesetiaan kepada tanah kelahiran. Oleh sebagian mereka yang pendatang, dengan segala kepentingan mencoba memanfaatkan habis-habisan mengadu domba masyarakat Tuban dengan menyebarkan penghianatan. Dengan kesadaran ini, lewat restu Adipati, Galeng memimpin langsung pasukan untuk menyerbu markas Rangga Iskak alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala alias Sunan Rajek yang mencoba merongrong persatuan Tuban karena dendam sakit hatinya kepada Adipati akibat jabatan Syahbandar yang dulunya Ia sandang kini digeser oleh Sayid Habibullah Almasawa, orang yang cakap bicara asal Protugis. Dan dewa Bharata masih berada pada pihak Galeng. Pertempuran beberapa Minggu ini akhirnya dimenangkan oleh pasukan Tuban. Pertempuran demi pertempuran akhirnya meletus saat Demak dengan ambisius nya ingin menguasai pulau Jawa. Dan tahap pertama adalah merebut kekuasaan Tuban dibawah kendali Adipati Trenggono, adik Adipati Unus sekaligus pembunuhnya. Dan berkat pengalaman dan keahlian berperang, pasukan Tuban berhasil mengusir Demak dengan tentara Gajah andalan Tuban dipimpin langsung oleh Galeng sebagai Senopati. Meskipun pada saat itu, Tuban sudah kehilangan nyawa pemimpinnya, Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Karena novel ini sedikit saja menyinggung soal pergesekan antara kesenian tradisional dan arus modernitas dengan instrumen kemajuan teknologi yang menyebabkan tergerusnya kesenian tradisonal—dalam konteks novel ini sandiwara keliling. Tidak menjadikan pergesekan tersebut sebagai pemicu konflik.
FilterBukuNovel & SastraBuku ImportMasukkan Kata KunciTekan enter untuk tambah kata 65 produk untuk "novel arus balik" 1 - 60 dari 65UrutkanAdpaket novel tetralogi pramoedya ananta toer-bumi manusia,arus claiy-ingAdNOVEL TERE LIYE SEPOTONG HATI YANG BantulPustaka Baru Press 3AdRAPIJALI DEE 3%Jakarta SelatanMillennia 100+AdNovel Tere Liye Buku 16AdTerlarisSelamat Tinggal Pre Order Tere TimurGramedia Official 750+Buku novel Arus Balik Pramoedya Ananta 9Terpopuler Novel Arus Balik By Pramoedya Ananta TimurHesty MeutyatikaNovel Arus Balik, Arok Dedes Pramoedya Ananta Toer, LamonganBuku PaganNovel Sastra ARUS BALIK. Pengarang Pramoedya Ananta BaratklikbukubekasNovel ARUS BALIK [ADA TTD] PRAMOEDYA ANANTA TOER Original Buku
Penurunanjumlah penumpang arus balik di Terminal Pulo Gebang tidak signifikan. Penurunan jumlah penumpang arus balik di Terminal Pulo Gebang tidak signifikan. REPUBLIKA.ID; REPUBLIKA TV; GERAI; IHRAM; REPJABAR; REPJOGJA; RETIZEN; BUKU REPUBLIKA; REPUBLIKA NETWORK; Thursday, 6 Muharram 1444 / 04 August 2022
Thread kali ini akan membahas salah satu novel legendaris Indonesia, kenapa legendaris? karena karya ini di buat oleh salah satu novelis terbesar di negara ini, Pramoedya Ananta Toer. Apakah teman-teman mengenal sosok ini? Beliau adalah sosok Masterpiece dalam bidang seni dan budaya terutama novel. berapa hasil karyanya seperti Tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, Gadis Pantai, dll. Keterlibatan Pram di organisasi Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat membuat dirinya pernah di penjara di Pulau Buru, bahkan beberapa bukunya pernah Kali ini Gua sendiri akan meresensi bukunya yang berjudul Arus Balik, yang sebernanya merupakan Tetralogi 4 novel lainya Arok Dedes, Arus Balik, Mangir, dan satu naskah yang masih hilang. Novel ini mengisahkan sebuah arus yang berbalik, setelah keruntuhan kerajaan Majapahit 1478 M membuat Nusantara yang dahulunya merupakan mercusuar dari Selatan dan membawa arus ke arah Utara, akhirnya harus menerima kenyataaan bahwa arus telah berbalik. Hingga pada akhirnya Indonesia dan sekitarnya Nusantara saat itu harus menerima kenyataan sekian abad lamanya terjajah. Kemahiran Pram, mengisahkan suasana yang terjadi saat itu dengan gaya cerita, membuat kita akan sangat mudah mengetahui kebudayaan, pola pikir, perjuangan masyarakat Nusantara saat itu. Karena itulah, Gua akan membahas sekilas Novel tersebut dalam resensi kali ini, Oke selamat membaca.... Arus Balik Nusantara menjadi saksi bisu, kehebatan kerajaan besar penguasa arus selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan utara. Majapahit, menjadi kekuatan maritim terbesar pada abad nya 1350 - 1389 M, mengusai hampir seluruh bagian dari negara Indonesia saat ini, hingga Singapura Tumasik, Malaysia Malaya, dan beberapa negera ASEAN lainya. Tapi, itu hanya kisah dongeng masa lalu bagi masyarakat desa saat itu. Kerajaan Majapahit sudahlah hancur dalam perang saudara tak berkesudahan, wafatnya sang Mahapatih Gajah Mada menjadi titik awal, kemudian berturut-turut peristiwa menggrogoti kerajaan ini, dan akhirnya lenyap setelah kedatangan agama Islam. Setelah itu Arus pun berbalik, kerajaan-kerajaan yang dahulunya berada dalam kekuasaan Majapahit akhirnya melepaskan diri. Para keturunan bangsawan Majapahit pun lebih memilih berkonsentrasi kepada kekusaaan yang tersisa, termasuk Raja Tuban Wilwatika. Tidak seperti nenek moyangnya, Wilwatika tidaklah berhasrat untuk menguasai atau memperluas kekuasaanya,"Perdamaian jauh lebih berarti buat rakyat, ucapnya. Tapi, hidupnya akan berubah drastis bukan saja bergeraknya arus dari eksternal kedatangan Portugis dan internal munculnya Demak, namun yang lebih penting munculnya sosok Galeng pemuda desa yang muncul dalam hingar bingar arus tersebut. Galeng adalah pemuda desa yang memiliki ketangkasan, kecerdasaan, dan keberanian dibandingkan pemuda lain. Kemampuan nya itu pun di tambah selama masih tinggal di desa, dia sering mendengar "ocehan" dari Rama Cluring yang katanya pernah merasakan kehebatan Majapahit. Kemampuan fisik disertai luasnya wawasan, menjadi modal penting Galeng untuk masuk sebagai pemeran dalam arus balik Nusantara saat itu. Hasilnya babak itu di mulai saat Galeng menghadiri kejuaraan di Tuban bersama kekasihnya Idayu. Kemenengan Galeng sebagai juara dalam kejuaran itu menjadi titik awal pergulatan pemuda desa itu. Munculnya konflik seperti pengkhianatan, kehidupan feodal, munculnya para "penjilat", menambah konflik dalam kerajaan Tuban. Kedatangan Portugis menguasai Kerajaan Malaka menjadi babak awal Galeng sebagai duta Tuban dalam peperangan merebut Malaka, yang di pimpin oleh Adipati Unus Laksamana Demak, walau akhirnya pasukan Nusantara kalah karena belum bersatunya pasukan kerajaan tersebut. Selain kisah peperangan, dalam novel ini Pram pun mengisahkan bagaimana akulturasi budaya masyarakat Jawa yang dahulunya Hindu-Buddha menjadi Islam. Walau peran Wali Songo tidak terlalu ditonjolkan tapi sosok Muhammad Firman Pada menjadi rujukan bagaimana Islam mulai masuk ke masyarakat Jawa. Muncullah drama di sini, bagaimana Firman berperang melawan budaya Hindu -Buddha yang masih kental saat itu. Akhirnya sangat sedikit dari masyrakat jawa pedalaman yang me ameluk agama Islam. Sosok Firman ini menjadi sosok penting karena merupakan Musafir yang langsung diutus oleh Sunan Bonan untuk menyebarkan agama Islam. Namun, setelah wafatnya Adipati Unus dan digantikan Raden Trenggono mengubah arus politik Demak. Arus yang tadinya mengarah ke peperangan terhadap Portugis Peranggi berubah setahap demi setahap ke arah perluasan wilayah oleh Raden Trenggono. Hal yang menggugurkan cita-cita Adipati Unus. Pram pun menyungguhkan, bagaimana bangsa-bangsa Nusantara saat itu bisa berkerja sama dengan pasukan Portugal Peranggi. Mulai dari Kerajaan Blambangan dan para pasukan pemberontak Ki Aji Benggala, membuat kita mengetahui cara para penjajah setahap demi setahap mendapat peluang untuk menaklukan Nusantara. Tapi disini, kemampuan Galeng sebagai tokoh Protagonis akhirnya muncul dan daya karismanya mengalahkan aura Raja Walwatika. Akhirnya peperangan demi peperangan pun bermunculan di tanah Jawa, pulau yang tenang itu berubah menjadi daerah peperangan. Galeng, nantinya menjadi Wiragaleng akhirnya menjadi tokoh yang ditunggu untuk mengusir penjajah, menghentikan peperangan saudara, mempersatukan Nusantara layaknya Gajah Mada. Tapi, seperti kata Pram bahwa Arus saat itu sudah berbalik, apakah Galeng mampu membalikan arus itu seperti dahulu kala? Atau tentu Arus -nya tetap Balik? Novel Arus Balik ini katanya merupakan karya terbaik dari Pramoedya Ananta Toer selain novel-novel ciptaanya. Tapi, kehebatan Pram menyajikan realisme sosial dalam kisah novel tentulah menjadi kekuatanya. Hal inilah yang membuat Pram bahkan bisa dibandingkan Bahkan lebih dengan pencipta Harry Potter, Dan Brown Da Vnci Code, dll. Tapi, diskriminasi terhadap Pram membuat karya-karya nya tidak pernah muncul. Padahal, sajian Novel Pram merupakan "Real" yang terjadi pada masyarakat. Mungkin Pram benar, sekarang Arus telah berbalik....
ContohResensi 1. Nama : Ari Intan Prajitno Kelas : XI IPA 6 Absen :6 Judul Novel : Di Batas Angin Pengarang : Yanusa Nugroho Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2003 Kota Terbit : Jakarta Ukuran : 21cmĂ—14cmĂ—0,6cm Jumlah Halaman : 94 Harga : Rp 35.000,- Kepergian Adik Tercinta Sebagai akibat dari kurangnya perhatian, kini dunia pewayangan mulai tenggelam tertelan arus globalisasi.
Penulis Pramoedya Ananta Toer Penerbit Hasta Mitra Cetakan I, Agustus 1995 Tebal 760 halaman ISBN 979-8659-04-x Seperti biasa Pramoedya selalu menyentak’ para pembaca dengan karya-karyanya yang legendaris. Arus Balik menjadi satu contoh bagaimana ia bercerita tentang sejarah nusantara yang pernah berjaya sebagai peradaban maju diantara negeri-negeri di dunia lewat kejayaan Majapahit. Lewat jalur kemaritiman lah Majapahit dapat bercerita bagaimana sebuah kejayaan atas negeri Atas Angin dapat dikuasai dengan tersebarnya pengaruh, citra, budaya, dan perdagangan. Hal ini digambarkan oleh Pram dengan arus yang bergerak dari penjuru selatan Nusantara ke arah utara Atas Angin. Hal ini terus berlangsung ketika Majapahit dapat menguasai perairan nusantara dengan kegagahan armada maritimnya yang dipersenjatai cetbang yang terkenal kemahsyurannya serta kesatuan nusantara atas sumpah palapa yang terkenal dari mahapatih gajah madanya. Namun segala kejayaan tersebut perlahan runtuh ketika majapahit hancur karena kerusakan dari pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di dalamnya. Hal ini menyebabkan kemerosotan hingga memutar balikan keadaan nusantara menjadi alas kaki negeri atas angin. Hal ini digambarkan oleh Pram dengan berubahnya arus dari selatan ke utara menjadi utara ke selatan. Dalam novel sejarah ini kita diajak menyelami bagaimana kesusahan yang terjadi ketika nusantara terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kerdil dan kapal-kapal majapahit yang mahsyur karena megahnya ikut mengecil mengikuti mengerdilnya kerajaan-kerajaan yang ada. Pembaca pada awal mula dibawa menuju pedalaman Tuban yang menjadi tempat utama berjalannya cerita Arus Balik ini. Dikisahkan seorang bijak bernama Rama Cluring yang berkelana berkeliling desa untuk bercerita tentang kemahsyuran Majapahit dengan kapal-kapalnya serta cerita arus selatan-utara mendatangi sebuah desa bernama Awis Krambil. Dalam ceritanya ia mengutuk tentang perpecahan yang menjadikan Majapahit runtuh dan berbaliknya arus menjadi selatan-utara. Karena pengaruh kekuasaan Tuban dan ketakutan penduduk desa akan prajurit-prajurit Tuban, cerita Rama Cluring dianggap mereka sebagai satu malapetaka yang akan membuat desa mereka dihancurkan oleh para prajurit Tuban. Maka Rama Cluring dikucilkan oleh penduduk desa dan diusirnya dari desa Awis Krambil. Namun ada sepasang muda yang setia mendengarkan Rama Cluring, mereka adalah Galeng dan Idayu, yang kelak akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Galeng adalah pemuda desa yang ahli dalam bergulat, bahkan telah memenangi kejuaran gulat yang diadakan kerajaan Tuban. Idayu tak kalah hebat, ia adalah pemegang juara bertahan penari seantero Tuban, konon tak ada yang bisa mengalahkannya dalam hal menari maupun kecantikan, seantero Tuban! Singkat cerita Galeng dan Idayu kembali mengikuti kejuaraan gulat dan tari di Tuban mewakili desa Awis Krambil. Kemenangan ditangan mereka dan mereka dihadiahi pernikahan mewah oleh kerajaan Tuban. Sekaligus Galeng diterima sebagai pegawai kerajaan Tuban untuk mengurusi adipati Tuban. Galeng diamanahi sebagai syahbandar-muda membantu Thalib Sungkar Az-Zubaid, peranakan Moro, Syahbandar Tuban menggantikan Rangga Iskak. Rangga Iskak kelak setelah terusir dari Tuban menjadi Kiai Benggala atau Sunan Rajeg, pemberontak Tuban yang berambisi membalas dendamnya pada Tuban karena telah mengusirnya dari Kesyahbandaran. Idayu mengikuti suaminya tinggal dalam Kesyahbandaran bersama syahbandar Tuban. Pada cerita ketika Galeng meninggalkan idayu untuk menumpas pemberontakan oleh Sunan Rajeg, syahbandar Tuban, Thalib Sungkar Az-Zubaid, membius idayu dan menyetubuhinya hingga Idayu mengandung. Hal ini diketahui Galeng dan membuat Idayu hina diri hingga meminta suaminya untuk membunuh ia dan bayi yang lahir dari rahimnya. Namun karena cinta Galeng pada Idayu akhirnya ia tidak membunuh istrinya melainkan merawat anak itu hingga besar. Ketika Galeng sedang berusaha menumpas pemberontakan Sunan Rajeg, terjadi kegaduhan yang menyebabkan ia membunuh Senapati Tuban dan mengikrarkan dirinya sebagai Senapati Tuban yang baru. Atas kecerdikannya dalam berperang melawan pemberontak Sunan Rajeg akhirnya ia dapat menumpas pemberontakan tersebut. Sebelumnya terjadi peristiwa bahwa Malaka telah berhasil direbut oleh Peranggi, negeri atas angin yang berambisi menguasai dunia. Peranggi mahsyur dan terkenal karena kapal-kapalnya serta senjata yang mereka punyai yaitu meriam. Diceritakan cetbang yang membawa Majapahit pada kemahsyuran pun berlutut pada meriam milik Peranggi. Karena keserakahan dan ancaman Peranggi terhadap Nusantara akhirnya dari kerajaan Demak melalui musafir-musafirnya menyiarkan kabar untuk persatuan Nusantara dalam melawan Malaka. Adipati Unus Jepara lah yang bermaksud untuk mengusir Peranggi dari Malaka, dari Nusantara. Usaha pertamanya mengalami kegagalan karena meriam Peranggi dan yang paling utama berkhianatnya Adipati Tuban kepada Demak dengan telat mengirim pasukannya saat menggempur Malaka. Hal ini menyebabkan Adipati Unus Jepara luka parah terkena serpihan cetbangnya sendiri. Singkat cerita Adipati Demak, Adipati Patah meninggal dunia dan digantikan oleh Adipati Unus Jepara. Masih dalam pendiriannya bahwa untuk memperbaiki Nusantara satu-satu jalan adalah menghalau Peranggi dari Malaka ia menyerukan seluruh kerajaan di Nusantara untuk bersatu melawan Peranggi. Ia dirikan galangan besar di Jepara untuk menghasilkan kapal-kapal perang besar. Kurang lebih 70 buah kapal perang yang disiapkan untuk menghalau Peranggi dari Malaka. Naas sebelum hal itu terwujud, Adipati Unus wafat dibunuh oleh saudara kandungnya sendiri Sultan Trenggono. Sultan Trenggono lebih bernafsu untuk menguasai Jawa daripada menghalau Peranggi dari Malaka. Maka seluruh kekuatan yang telah dibangun pada zaman Adipati Unus dialihkan untuk menguasai Jawa dengan bantuan Sultan Fatahillah, pangeran Pasai yang terbuang ketika Pasai jatuh ketangan Peranggi. Karena kerakusan ini Demak tidak lagi dipercaya oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara dan bantuan dari mereka tak lagi datang pada kerajaan Demak. Ditambah lagi pengkhianatan Demak terhadap gabungan pasukan Aceh-Tuban-Makasar yang sudah berjalan menuju Malaka. Saat itu Demak malah berbelok untuk menguasai Pajajaran dan Sunda Kelapa yang ada di Jawa sebelah Barat. Dalam kisahnya Sultan Fatahillah yang berhasil menguasai Sunda Kelapa dan menghalau Peranggi dari sana menamai daerah tersebut menjadi Jayakarta. Demak semakin mendesak Jawa dan mulai mengarah ke Timur Jawa. Tuban menjadi target utama karena pada saat itu Tuban menjadi bandar besar yang penting pada pelayaran di Jawa Timur. Maka penyerangan dilaksanakan, Demak berhasil menguasai Tuban dan Adipati Tuban wafat tepat sebelum Demak menguasai Tuban. Hanya dalam beberapa hari Tuban mampu membalikan keadaan melalui Patihnya. Namun disaat Tuban telah kelelahan menghalau Demak dari daerah kekuasaannya, Peranggi datang dan mengusir Tuban hingga pergi dari tanahnya sendiri. Disaat inilah Galeng yang telah dianugerahi gelar Senapati Wiranggaleng melancarkan serangan balasan dengan siasat baru yang belum pernah dilakukan selama peperangan yang ada di Jawa, menyerang ketika malam hari. Penyerangan itu sukses dan Tuban kembali di tangan kerajaan Tuban. Hal ini menjadi kemenangan bagi penduduk serta prajurit Tuban. Tuban yang dalam keadaan kekosongan kekuasaan menginginkan Senapati Wiranggaleng menjadi Adipati Tuban, namun dia menolak. Lalu ia mengucapkan kata-kata mahsyur yang ia dapat dari gurunya Rama Cluring. “Dahulu, di jaman kerajaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya-semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.” Karena kesadaran akan ketidak-mampuanya ia hanya menitipkan pesan tersebut kepada para kepala prajurit Tuban. Ia menyangsikan bahwa kemenangan Tuban mengusir Peranggi bukanlah sebuah kemenangan yang sesungguhnya. Namun mengusir Peranggi dari Malaka, dari Nusantara adalah sebuah kemenangan yang sesungguhnya dan ia tidak menyanggupi hal tersebut. Ia menekankan hal tersebut kepada para kepala prajuritnya, dan jika hal itu tidak tercapai selamanya Nusantara akan berada dalam kuasa negeri Atas Angin tersebut. Wiranggaleng pergi ke pedalaman bersama istrinya Idayu serta anak aslinya Kumbang. Ia menjadi sesuatu yang diimpikan bersama istrinya selama ini, petani yang tenang menjalani hidup apa adanya tanpa ada kegusaran akan dunia. Namun pada lubuk hatinya, Galeng tetap menyimpan perasaan tidak nyaman akan keberadaan Peranggi di Nusantara dan pengusiran dari Malaka adalah suatu hal yang harus. Arus Balik mengajari kita bagaimana kekuatan maritim adalah kunci utama Nusantara dapat berjaya, membawa arus selatan ke utara. Persatuan Nusantara dalam satu bendera juga menjadi hal mutlak untuk mewujudkan hal tersebut. Keserakahan Sultan Trenggono untuk menguasai Jawa adalah pelajaran bahwa keserakahan malah akan membikin kehancuran pada diri sendiri. Pram menyajikan novelnya sungguh baik, hampir lengkap bahkan. Dengan detil cerita serta konflik antar tokoh yang membuat rasa penasaran terus membuncah, serta bumbu-bumbu pengkhianatan hingga cinta yang ada membuat Arus Balik tidak hanya menjadi Novel Sejarah Nusantara namun menjadi satu Novel yang menceritakan bagaimana kehidupan pada zaman itu. Adat-adat setempat yang ada serta masuknya pengaruh agama baru dalam tatanan masyarakat disajikan dengan rapih. Arus Balik menceritakan semua itu, membuat karya legendaris Pram ini wajib dibaca oleh masyarakat Indonesia, terkhusus generasi mudanya. Nusantara yang dulu menjadi hulu dunia, berbalik menjadi hilir karena perpecahan dan kelupaannya terhadap kekuatan maritim yang begitu penting, menjadi tamparan’ bagi Indonesia sekarang. Intisari Arus Balik sesuai dengan apa yang terjadi saat ini dan harus bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk Indonesia. Dan pertanyaannya adalah akankah Nusantara terus menjadi hilir dunia ataukah Arus akan berbalik kembali dari Selatan menuju Utara? 16 Januari 2017 Lampung
View FISIKA 12345 at Padang State University. RESUME V ANALISIS FISIKA SMA KELAS XII RANGKAIAN ARUS BOLAK-BALIK Disusun guna memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti mata kuliah
Kedewasaannyadiuji. Apa pasal? Sang saudara tiri ini ternyata tidak hanya cakap, tetapi juga memiliki pengetahuan agama yang mumpuni! "Dian Nafi menyajikan kisah Gus sebagai calon penerima mahkota dari kerajaan kecil bernama 'pesantren'. Dalam kata lain, novel ini seumpama etnografi gus dan persoalan tahta kekyaiannya, yang mana hampir
.
  • pltgmd5jec.pages.dev/938
  • pltgmd5jec.pages.dev/266
  • pltgmd5jec.pages.dev/198
  • pltgmd5jec.pages.dev/3
  • pltgmd5jec.pages.dev/810
  • pltgmd5jec.pages.dev/95
  • pltgmd5jec.pages.dev/323
  • pltgmd5jec.pages.dev/429
  • pltgmd5jec.pages.dev/160
  • pltgmd5jec.pages.dev/964
  • pltgmd5jec.pages.dev/430
  • pltgmd5jec.pages.dev/22
  • pltgmd5jec.pages.dev/891
  • pltgmd5jec.pages.dev/693
  • pltgmd5jec.pages.dev/577
  • resensi novel arus balik